MEMIKIRKAN MASA
DEPAN
FLIGHT SIMULATOR TNI
AU
Oleh
:
Mayor Lek Ir. Arwin D.W. Sumari, FSI,
FSME, VDBM, SA[1]
Pendahuluan
Flight Simulator atau lebih sering disingkat dengan
simulator saja bukanlah komoditi baru di lingkungan TNI AU. Apakah simulator dapat
dikategorikan sebagai Alat Utama Sistem Senjata Udara (alutsistaud) ? Apakah ia
dapat digolongkan sebagai salah satu Komponen Kekuatan TNI AU ? Apakah ia hanya
sekedar peralatan untuk latihan saja atau lainnya ? Atau ia termasuk golongan
“fuzzy” ? Hingga detik ini
belum ada yang secara resmi menyatakan termasuk golongan manakah komoditi
simulator ini. Tetapi yang pasti
simulator adalah salah satu komoditi elektronika yang berada di bawah pembinaan
Dinas Komunikasi dan Elektronika TNI AU (Diskomlekau), tepatnya langsung di
bawah Subdis Komputer, Simulator dan Elektronika Khusus
(Kompsimleksus).
Dalam buku “Tally Ho” edisi
ketiga tahun 2002 terbitan Lanud Iswahjudi diceritakan secara singkat bahwa
keberadaan simulator di TNI AU diawali dari pembelian beberapa low cost
flight simulator atau simulator berbiaya rendah untuk pesawat-pesawat tempur
A-4E Skyhawk, F-5E Tiger dan Hawk Mk-53 dari Applimation Inc., USA di awal tahun
1980-an. Ketiga simulator
tersebut diinstalasi sebagai Link Trainer di Alat Instruksi dan Fasilitas
Latihan (Alinfaslat) Lanud Iswahjudi – sekarang Faslat Wing – 3 Lanud Iswahjudi
– di bekas markas Satuan Sergap T – 33 Bird Wing Operasi 300. Pada saat itu Skadron 11 masih
bermarkas di Lanud Iswahjudi sehingga simulatornya ditempatkan tidak jauh dari
lokasi pesawat tempurnya dan begitu Skadron 11 dipindahkan ke Lanud Hasanuddin,
mau tidak mau simulator A-4E pun juga diboyong ke sana. Bersamaan dengan berjalannya
waktu, simulator-simulator tersebut “rontok” satu demi satu yang diawali dari
simulator A-4E di Lanud Hasanuddin diikuti oleh kedua “saudaranya” di Lanud
Iswahjudi yakni simulator F-5E dan Hawk Mk-53. Ada dua hal utama yang menyebabkan
life time simulator-simulator ini cukup singkat – kurang dari 15 tahun –
yakni bubarnya manufacturer
“ketiga kembar” tersebut Applimation Inc., USA dan kemampuan reverse
engineering kita yang belum matang pada saat itu.
Krisis ekonomi yang menerjang negara
kita di akhir 1990-an secara langsung berdampak pada alokasi anggaran untuk
bidang Pertahanan dan Keamanan khususnya untuk TNI AU. Untuk menyesuaikan dengan dana
yang dialokasikan, maka ada konsekuensi yang harus diterima. Di lain sisi pecahnya peristiwa yang
berujung pada lepasnya Timor Timur dari pangkuan Ibu Pertiwi juga berdampak pada
embargo dukungan peralatan militer bagi TNI dari Amerika Serikat. Dari dua kejadian beruntun tersebut
konsekuensi yang ditanggung oleh TNI AU adalah embargo suku cadang peralatan
militer dari Amerika Serikat khususnya pesawat-pesawat tempur dan pengetatan jam
terbang. Salah satu upaya brillian pimpinan
TNI AU untuk mengatasi hal ini adalah dengan membeli beberapa simulator modern
baik untuk pesawat tempur maupun pesawat angkut. Program pembelian simulator-simulator
ini sebenarnya telah direncanakan jauh hari sebelum adanya krisis moneter yang
ternyata malah menjadi solusi dari situasi dan kondisi sulit yang sedang
dihadapi saat ini.
Simulator-simulator tersebut adalah Simulator Hawk Mk-209 di Lanud Pekanbaru, Full
Kekuatan TNI
AU
Di dalam Buku Petunjuk Dasar
(Bujukdas) TNI AU yang menjadi Pedoman
Pembinaan Kemampuan dan Penggunaan Kekuatan TNI AU dinyatakan bahwa Komponen Kekuatan TNI AU terdiri atas
:
Q
Personel yang terdiri dari awak pesawat, awak
penyiap alutsistaud, paskhas, personel pendukung dan personel
cadangan.
Q
Alutsistaud yang terdiri dari pesawat terbang,
Radar, meriam anti pesawat dan peluru kendali.
Q
Pangkalan udara beserta fasilitas dan
perlengkapannya.
Q
Metode dan sistem serta piranti
lunak dalam bentuk keputusan dan kebijaksanaan.
Dalam definisi diatas, tersirat bahwa
“Alutsistaud” adalah semua peralatan perang yang langsung ikut serta
dalam suatu operasi udara atau peperangan sehingga secara jelas dinyatakan bahwa
simulator bukan termasuk salah satu dari alutsistaud TNI AU. Namun yang pasti simulator adalah suatu peralatan
elektronika berbasis komputer yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat
menirukan karakteristik dan tingkah laku suatu pesawat terbang yang digunakan
sebagai sarana latihan terbang atau istilahnya fasilitas latihan. Bagaimana dengan komponen
“Pangkalan Udara” ?
Penulis kira simulator dapat dimasukkan ke dalam kategori ini karena
komponen “Pangkalan Udara” terdiri atas semua fasilitas dan perlengkapan
yang ada di suatu pangkalan udara yang dapat menjadi unsur kekuatan udara TNI
AU. Simulator
definitely tidak terlibat langsung di dalam suatu operasi udara tetapi ia
memberikan kontribusi yang tidak sedikit pada keberhasilan suatu operasi
udara. Dengan memanfaatkan
fasilitas-fasilitas yang telah disediakan di simulator, para penerbang dapat
melatih tiga faktor penting dalam suatu operasi udara yakni “Cuaca Medan
Musuh (CuMeMu)”.
Fasilitas-fasilitas tersebut diantaranya adalah :
G
Quick environmental
changing
yakni situasi dan
kondisi cuaca dan
G
Weapon and target
selection yakni
kemudahan pemilihan senjata yang digunakan sesuai dengan sasaran yang telah
ditentukan dan persentase kerusakan yang diinginkan atau istilahnya Perencanaan
Penggunaan Sistem Senjata (Rengunsista). Penerbang dapat melatih ketepatan
penembakan sasaran sesuai dengan Perkiraan Operasi yang telah dibuat menggunakan
jenis senjata yang tepat dan dengan tingkat kerusakan yang diinginkan
disesuaikan dengan dukungan persenjataan yang ada di lapangan. Berbagai jenis senjata yang
dimiliki TNI AU dapat dimasukkan ke dalam simulator sehingga para penerbang akan
mempunyai keyakinan yang tebal bahwa mereka mampu menghancurkan sasaran dengan
tepat dan telak sesuai persentase kehancuran yang diinginkan. Bila diperlukan database persenjataan dapat diperbanyak
sesuai dengan kemajuan teknologi persenjataan di dunia. Fasilitas ini banyak berkaitan dengan
penghancuran kekuatan Musuh.
G
Air refueling adalah salah satu Kekuatan Pengganda TNI AU yang sangat diperlukan
dalam perjalanan terbang jarak jauh (fery). Air refueling bukanlah
pekerjaan mudah karena dibutuhkan kepresisian yang amat tinggi untuk
memposisikan belalai “gajah”
(boomer atau hose) dari
pesawat tanker C-130 BT ke saluran bahan bakar pesawat tempur. Di simulator, penerbang pesawat
tanker dan penerbang pesawat tempur dapat berlatih bersama-sama dan
mengkoordinasikan waktu dan lokasi (Air Refueling Contact Point, ARCP) untuk
melaksanakan serta melatih kepresisian air
refueling.
Dengan demikian pada point ini
dapat diambil kesimpulan bahwa simulator bukan komponen “Alutsistaud” tetapi
komponen “Pangkalan Udara”
dalam bentuk fasilitas latihan
terbang berbasis teknologi
elektronika sesuai dengan jenis
pesawat terbang yang disimulasikan untuk membantu penerbang mempertahankan dan
meningkatkan flying skill-nya tanpa
harus menerbangkan pesawat sesungguhnya (lift off the
ground).
Sumber Daya Personel
Simulator
Secara alamiah penggunaan suatu
peralatan akan bermuara ke dua aspek yakni aspek Operasi dan aspek
Pemeliharaan. Aspek
operasi memandang peralatan dari sisi penggunaannya untuk kepentingan
keberhasilan suatu misi atau tugas dan aspek pemeliharaan melihatnya dari sisi
untuk mempertahankan kondisi serviceable sebagai kontributor pada aspek
operasi. Kedua aspek ini
bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat saling dipisahkan. Bila peralatan
unserviceable, secara otomatis kegiatan operasional mengalami
hambatan. Demikian pula sebaliknya
tidak ada gunanya peralatan dipertahankan serviceable tetapi tidak pernah
atau jarang dioperasikan.
Analogi yang sama berlaku di simulator karena sesuatu yang tidak seimbang
akan tampak tidak proporsional dipandang dari berbagai perspektif. Meninjau simulator dari aspek
operasi akan melibatkan banyak elemen mulai dari tingkat pusat hingga pelaksana
di lapangan. Konteks naskah
ini tidak menyinggung secara mendalam bagaimana penggunaan simulator
sehari-harinya oleh para penerbang, tetapi ditekankan pada para personel
pelaksana operasi simulator sehari-hari.
Mengoperasikan simulator hampir
semudah mengoperasikan sebuah personal computer (PC) yang sudah
tidak asing lagi bagi kita dan bahkan mungkin anak-anak kitapun juga telah
familiar dengannya,
lebih-lebih bagi mereka yang menyukai permainan Flight Simulator buatan
Microsoft Corporation, raksasa software dari Amerika Serikat yang
dipimpin oleh si jenius Bill Gates.
Perbedaan yang sangat mendasar antara simulator betulan dengan Flight Simulator
PC-edition adalah operator tidak mengendalikan pesawat tetapi
mengendalikan jalannya suatu kegiatan simulasi penerbangan sedangkan yang
menerbangkan simulator adalah penerbang pesawat bersangkutan. Ini perlu penulis sampaikan agar
persepsi tentang simulator ini tidak disamakan dengan Flight Simulator yang
diinstalasi untuk game anak-anak di PC. Walaupun pada dasarnya idenya sama
tetapi impelementasinya jauh berbeda. Oleh karena itu para personel yang
menjadi operator simulator harus setidaknya atau minimal mempunyai latar
belakang komputer dan mengenal konsep pemrograman sederhana tetapi bukan dari
jurusan Pengolahan Data Elektronik (PDE). Mengapa ? Karena komputer-komputer simulator
bukan jenis PC biasa yang digunakan di rumahan tetapi workstation khusus
untuk mendukung aplikasi grafis tingkat tinggi dengan kemampuan pengolahan data
secara paralel seperti Silicon Graphics, Encore, IBM dan SUN yang dirancang
untuk mendukung komputasi tingkat tinggi dalam lingkungan simulasi real-time (waktu-nyata). Simulator
beroperasi mengikuti program yang telah diaplikasikan kepadanya sehingga
pemahaman konsep pemrograman sederhana akan memudahkan mereka untuk memodifikasi
program simulator yang ada sesuai dengan kebutuhan
penerbang.
Kendala yang ditemui di lapangan
adalah kendala normatif yang juga terjadi di semua elemen TNI AU yakni
mendapatkan sumber daya manusia yang “sesempurna” itu. Ini adalah realita yang perlu dicarikan
solusinya karena kaderisasi harus terus berlanjut agar simulator tetap dapat
beroperasi sepanjang life
time-nya. Dalam pikiran
penulis dengan berlandaskan pada Asas Pembinaan TNI AU tentang
Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya, ada beberapa ide yaitu
:
v
Bintrampil Teknisi Simulator yang
saat ini lebih difokuskan di bidang pemeliharaan sistem-sistem simulator dapat
diperdalam kurikulumnya dengan teknis pengoperasian simulator dan konsep
pemrograman sederhana.
Bintrampil tidak memberikan konsep pemrograman yang mendalam karena
kegiatan ini dikhususkan untuk para Bintara teknisi
simulator.
v
Untuk konsep pemrograman simulator
yang lebih mendalam diberikan kepada para Perwira simulator karena ini berkaitan
dengan modifikasi skenario misi latihan yang akan dilaksanakan. Skenario akan berdampak besar pada suatu
misi karena di dalamnya banyak sekali variabel yang dilibatkan khususnya
spesifikasi musuh atau sasaran. Di
dalam suatu skenario dapat ditentukan lokasi musuh baik pesawat terbang,
kendaraan darat atau kapal perang, kecepatannya, persenjataannya dan kemampuan
lainnya seperti jamming.
Oleh sebab itu alangkah baiknya bila ada semacam sekolah atau kursus
setingkat Kursus Perwira (Suspa) untuk memenuhi kebutuhan
ini.
Ditinjau dari sisi yang berbeda hanya
di komoditi simulator yang belum pernah diadakan Suspa dibandingkan dengan
komoditi lain seperti Avionik, Radar dan Komunikasi dan Alat Bantu Navigasi
(Komalbanav). Informasi yang
penulis peroleh ada persyaratan jumlah siswa minimal untuk menyelenggarakan
suatu kursus yakni 10 siswa.
Dengan jumlah Perwira Simulator
yang hanya sekitar 15 orang yang terdistribusi mulai dari AAU 1987 (Pamen
berpangkat Mayor) hingga AAU 2001 (Pama berpangkat Letda) hal ini kecil
kemungkinan untuk dilaksanakan – selisih 14 tahun atau 14 generasi (Tabel
1). Ini adalah kendala dan
realita. Sebagian besar Perwira dan
Bintara simulator adalah ex Skadron Avionik yang ditugaskan untuk menangani
simulator sedangkan yang murni “lahir” sebagai Perwira dan Bintara simulator
tidak lebih dari 10 orang. Hal lain
yang juga berkaitan dengan personel ini adalah seyogyanya komoditi simulator
memerlukan pembina lapangan yang memahami bidang ke-simulator-an seperti halnya
Komandan Depohar atau Komandan Sathar pada komoditi Avionik, Radar dan
Komalbanav.
Tabel 1. Komposisi dan Disposisi
Perwira
Kualifikasi Simulator TNI AU Operasional
No. |
Tipe
Simulator |
Ex In
Plant Team |
Maintenance Engineer |
Ket | ||
Pamen |
Pama |
Pamen |
Pama | |||
|
|
|
|
|
|
|
1. |
Hawk Mk-209 Lanud Pekanbaru |
1 |
- |
- |
- |
Ex |
|
|
|
|
|
|
|
2. |
F-16A Lanud Iswahjudi |
- |
1 |
- |
2 |
Ex |
|
|
|
|
|
|
|
3. |
C-130H Lanud Halim P |
1 |
1 |
1 |
- |
Ex |
|
|
|
|
|
|
|
|
Jumlah |
2 |
2 |
1 |
2 |
|
|
Total |
7
Perwira |
Dari tabel di atas dapat dilihat
bahwa sumber daya personel Perwira kualifikasi simulator TNI AU sangat minim –
dari 14 lichting hanya ada 7 orang. Dari 7 Perwira
simulator ex pendidikan luar negeri tersebut, 5 Perwira berasal dari
spesialisasi Avionik – Skadron Avionik 01 Lanud Iwj dan Skadron Avionik 02 Lanud
Hlm – atau 71,4% dari populasi dan sisanya yakni 2 Perwira atau 28,6% langsung
direkrut sebagai spesialisasi Simulator.
Perwira simulator lainnya yang bukan ex pendidikan luar negeri belum
pernah ada yang mengikuti sekolah kualifikasi khusus simulator karena TNI AU
belum pernah memprogramkan sekolah seperti ini. Tahun 2002 lalu Lanud Iswahjudi
sebagai salah satu instansi pengguna Simulator F-16A telah mengusulkan beberapa
pendidikan simulator untuk Perwira dan Bintara dalam rangka kaderisasi sumber
daya manusia simulator TNI AU.
Pendidikan-pendidikan tersebut meliputi Suspa, Dikkualsus untuk Perwira
dan Bintrampil untuk Bintara yang disesuaikan dengan kebutuhan masa depan
simulator TNI AU. Harapan
penulis usulan ini disetujui pimpinan dan dapat dilaksanakan pada TA 2003 ini
untuk ketiga simulator TNI AU.
Reverse
Engineering
Berbicara aspek Pemeliharaan pada simulator tidak akan
ada habisnya karena masalahnya juga tidak jauh berbeda dengan permasalahan di
alutsistaud lainnya yakni masalah klasik harga suku cadang yang mahal dan
dukungannya yang tidak tepat waktu.
Penulis tidak akan menyinggung masalah ini karena pasti akan menyangkut
masalah anggaran dan tentunya akan berkaitan dengan banyak pihak. Kembali lagi ke Azas Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya
dalam Azas Pembinaan TNI AU tetapi
sekarang ditambah dengan Azas Kemandirian yang bermakna mampu
melaksanakan segala sesuatu secara mandiri. Penulis sudah lebih dari 7 tahun
menangani Full Mission Simulator F-16A mulai dari pertama kali dibuat di United
Kingdom (Inggris) hingga ke kondisi sekarang yang unserviceable dan cukup
banyak pengalaman baik secara pribadi maupun secara tim kerja. Embargo adalah masalah nasional
yang juga menimpa Simulator F-16A karena dianggap Amerika Serikat sebagai bagian
dari kekuatan tempur TNI AU (
Dalam bahasa sederhana reverse engineering bermakna
“membongkar” suatu sistem ke dalam komponen-komponennya untuk dianalisa cara
kerjanya dengan tujuan membuat duplikatnya atau membuatnya lebih baik. Suatu reverse engineering dianggap berhasil
(successful) bila hasilnya dapat
digunakan sebagai bahan masukan untuk menghasilkan sistem yang ekivalen dengan
sistem aslinya. Reverse engineering pada umumnya
dilakukan bila kita menemui kesulitan dalam melakukan troubleshooting terhadap suatu peralatan
atau sistem karena keterbatasan technical
data atau memang ada niatan untuk membongkar sistem yang menjadi copyright suatu perusahaan
tertentu. Yang terakhir ini
dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum (illegal) tetapi justru ini yang paling
banyak dilakukan dengan berbagai alasan untuk membenarkan tindakan
tersebut. Tindakan illegal “dapat” menjadi legal bila dilakukan untuk kepentingan
misi organisasi atau kepentingan bersama.
Ini bukan berarti membenarkan tapi karena situasionil yang “memaksa”
untuk melakukan hal tersebut dan banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
besar dunia. Sebagai
contoh misal ada suatu produk “X” dari Perusahaan “X” yang begitu dicari di
pasaran karena berbagai fitur dan kelebihan yang dimilikinya. Perusahaan “Y” sebagai kompetitor akan
membeli produk tersebut dan menganalisa “jerohan” produk tersebut. Hasil analisa diwujudkan ke dalam bentuk
produk “Y” untuk menyaingi produk “X” yang laris tersebut.
Pada suatu ketika di akhir tahun
2000, sebuah Arc Lamp Power Supply (ALPS) Simulator F-16A mengalami hubungan
singkat sehingga tidak dapat dipakai lagi. Satu-satunya cara untuk
memperbaikinya adalah dengan return to the manufacturer atau kembali ke
pabrik pembuatnya di Amerika Serikat. Cara ini jelas akan memakan waktu
lama sedangkan Simulator F-16A harus tetap beroperasi. Walaupun cadangan
Dengan modal “No Spare Part No
Cry”, kami (penulis dan para teknisi) mencoba melakukan reverse
engineering dengan mengabaikan kata-kata “return to the
manufacturer”. Tidak ada
manual atau technical order yang dapat digunakan sebagai referensi
kecuali selembar wiring diagram yang tidak lengkap. “If there is a will, there is a
way”. “Hipotesa”
peribahasa ini dapat dibuktikan dalam kegiatan perbaikan kedua power
supply tersebut. Bantuan
peralatan dan supervisi datang dari Satuan Pemeliharaan 22 Depo Pemeliharaan 20,
Iswahjudi yang memiliki fasilitas IC checker Huntron Tracker 2000. Dengan modal secarik wiring
diagram dan IC tracker akhirnya ditemukan sumber kerusakan yakni pada
beberapa IC dan komponen elektronika sederhana seperti Diode dan Resistor. Bermodal dana tidak lebih dari 2
juta rupiah dari Diskomlekau untuk mengadakan komponen-komponen elektronika
tersebut, akhirnya kedua power supply tersebut dapat digunakan kembali
setelah melewati pengujian di Simulator F-16A. Reverse engineering memang
memeras isi kepala, tapi ya itulah tugas bidang pemeliharaan untuk melaksanakan
segala cara halal dan menjamin suatu sistem atau peralatan selalu dalam kondisi
serviceable setiap saat.
Dari pengalaman ini ada dua hal yang dapat penulis petik
:
v
Reverse engineering memaksa kita untuk mengeluarkan
semua kemampuan teknis yang pernah dipelajari baik secara formal maupun informal
dan hasilnya adalah ilmu bertambah dan rasa percaya diri meningkat bahwa
ternyata kami mampu mendobrak semboyan “return to the manufacturer” yang
selalu diagung-agungkan oleh pabrik pembuat suatu peralatan
elektronika.
v
Reverse engineering dapat menghemat dana pemeliharaan
secara signifikan dan nyata.
Sebagai contoh adalah kegiatan perbaikan
Optimalisasi Simulator TNI
AU
Ide awal pengadaan
simulator-simulator TNI AU adalah untuk membantu penerbang untuk mempertahankan
dan meningkatkan flying
skill-nya.
Untuk sarana latihan penerbangan
dalam kondisi normal dan darurat (emergency
procedures).
Untuk sarana
latihan transisi, sebagai misal bagi penerbang yang beralih profesi dari
penerbang pesawat F-5E Tiger ke pesawat F-16A Fighting
Falcon.
Digunakan sebagai media untuk
mengetahui unjuk kerja pesawat yang sesungguhnya dan cara pengoperasian sistem
senjatanya di dalam lingkungan simulasi yang mempunyai keakuratan sangat
tinggi. Ini biasanya
dilakukan oleh penerbang-penerbang yang sudah mahir menerbangkan pesawat
tertentu tetapi ingin mengetahui kemampuan maksimal pesawat tersebut yang
sesungguhnya.
Keterpurukan simulator-simulator TNI
AU beberapa tahun ini khususnya simulator pesawat tempur dapat ditinjau dari
beberapa sisi. Bila dilihat
dari sisi alokasi anggaran untuk operasional dan pemeliharaan, permasalahan
cukup sampai di sini. Penulis tidak
akan mengungkapkan sampai sejauh itu karena ada hal lebih penting yang dapat
diupayakan.
a.
Political Will. Semua aspek yang berkaitan
alutsistaud tergantung kepada sistem, metode dan perangkat lunak yakni keputusan
dan kebijaksanaan pimpinan TNI AU.
Tanpa adanya political will,
cita-cita yang mulia tidak akan dapat diwujudkan sesuai harapan. Pembelian simulator-simulator
modern TNI AU dengan teknologi tinggi sebagai tulang punggungnya bukan hanya
sekedar penghias TNI AU tetapi (memang) ditujukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan flying skill
penerbang-penerbang TNI AU terutama di masa krisis seperti
ini.
b.
Organisasi. Di dalam Surat Keputusan
KASAU No. : KEP/6/III/1999 16 Maret
1999 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur (POP) Wing Pangkalan Udara
(Wing), Fasilitas Latihan sebagai satuan yang melaksanakan operasi dan
pemeliharaan fasilitas latihan termasuk simulator mempunyai status sebagai Pembantu/Pelaksana Komandan Wing. Status ini agak rancu antara
Pembantu dan Pelaksana karena bila melihat struktur organisasi di bawah Faslat
terdapat dua staf Ka Faslat yakni Kaur Ops dan Kaur Har yang mirip dengan Kadis
Ops dan Kadis Har di struktur organisasi Skadron Udara; dan sangat berbeda
dengan staf-staf pembantu Dan Wing lainnya. Dengan struktur organisasi yang
ada saat ini jalur birokrasi khususnya dukungan pemeliharaan menjadi kurang
efektif sedang simulator dituntut untuk selalu serviceable untuk mendukung latihan para
penerbang.
c.
Operasi. Kendala utama adalah sangat
rendahnya penggunaan simulator-simulator TNI AU khususnya simulator pesawat
tempur. Belum ada aturan yang jelas
dan nilai tambah (added value) bagi
penerbang yang menambah jam terbang melalui penggunaan simulator. Sebagai contoh di Simulator F-16A pada TA 2002 dengan alokasi sekitar 1.680 jam
hanya digunakan sebanyak 180 jam atau 10,71% dari jam terbang yang
dialokasikan.
d.
Pemeliharaan. Kendala utama adalah tingkat
pemeliharaan simulator TNI AU belum ditata dengan baik sedemikian halnya dengan
komoditi elektronika lainnya seperti Avionik, Radar dan Komalbanav. Belum ada penjelasan tertulis mengenai
posedur pemeliharaan tingkat ringan, sedang dan berat bagi simulator-simulator
TNI AU selayaknya peralatan elektronika TNI AU
lainnya.
Dalam benak penulis ada beberapa ide
yang dapat dilaksanakan dengan political
will yang kuat dari pimpinan TNI AU untuk membangunkan simulator-simulator
TNI AU ini dari “mimpi buruk” yang telah berlangsung lama. Ide-ide tersebut adalah
:
a.
Political Will. Meskipun tidak langsung ikut
berperan di dalam suatu operasi udara atau penerbangan, simulator memberikan
kontribusi yang tidak sedikit untuk keberhasilan kegiatan operasi tersebut. Suatu hal yang membanggakan bila pimpinan
TNI AU berkenan untuk memasukkan simulator-simulator tersebut ke dalam kategori
komponen Alutsista udara TNI AU melengkapi alutsistaud yang sudah ada. Hal ini cukup beralasan karena suspension (embargo) dukungan
pemeliharaan alutsistaud buatan Amerika Serikat seperti pesawat tempur F-16 juga
dialami oleh Simulator F-16A.
b.
Organisasi. Dalam sejarahnya Faslat
dahulu berada di bawah Dinas Operasi dan dengan adanya perubahan organisasi
ditempatkan di bawah Wing kecuali Simulator Hawk 200 di Lanud Pekanbaru. Salah satu alternatif untuk
mengefektifkan dukungan pemeliharaan adalah memposisikan Faslat sebagai salah
satu Staf Khusus Komandan Lanud
sejajar dengan Senkom. Dengan
struktur seperti ini jalur birokrasi lebih pendek, dukungan pemeliharaan
simulator lebih cepat dan efektif serta kegiatan operasi simulator dapat
dioptimalkan sesuai dengan yang diharapkan oleh pimpinan TNI AU dan tujuan awal
pembelian simulator-simulator modern tersebut.
c.
Operasi. Hal-hal yang dapat dijalankan adalah
perlu ada kerja sama antara Instansi Pengguna (Ingun), Instansi Pembina Item
(Inbinitem) dan Instansi Pembina Profesi (Inbinprof) di tingkat Mabes TNI AU
yakni antara Staf Operasi dengan Diskomlekau. Dari kerja sama tersebut setidaknya akan
diperoleh kesepakatan dan keuntungan sebagai berikut :
1)
Konversi jumlah jam terbang simulator
dengan jam terbang di pesawat terbang. Dengan demikian simulator akan
semakin intensif digunakan dan penerbang dapat menuai nilai tambah dalam bentuk
peningkatan skill dan penambahan jam
terbang yang diperhitungkan di dalam log
book jam terbang serta diakui oleh yang berwenang. Sebagai contoh di Amerika Serikat
seorang penerbang SR-71 “Blakc Bird” setidaknya telah mengantongi 150 jam
terbang Simulator SR-71 sebelum menerbangkan pesawat yang
sebenarnya.
2)
Melatih kewaspasdaan sebelum
melaksanakan terbang sehingga kegiatan penerbangan di alam nyata dilaksanakan
sesuai prosedur Keselamatan Terbang dan Kerja (Lambangja) TNI AU. Sebagai contoh adalah Terry Papas,
penerbang senior pesawat intai tercepat di dunia SR-71 “Blackbird” yang telah
mengantongi 150 jam terbang di simulator SR-71 “Blackbird” dan di simulator
pesawat subsonic lainnya pernah lupa
mengunci erat helmnya saat menerbangkan pesawat sebenarnya sehingga
mengakibatkannya mengalami hypoxia
saat terbang mendaki ke ketinggian.
3)
Pelaksana operasi simulator mempunyai
kebanggaan ikut memberikan kontribusi terhadap peningkatan skill para penerbang yang berlatih di
simulator. Dengan jam operasi yang
tinggi memungkinkan adanya tunjangan khusus untuk para pelaksana operasi sesuai
dengan aturan yang berlaku.
d.
Pemeliharaan. Kerja sama yang dilakukan
tidak jauh beda dengan bidang operasi ditambah kerja sama dengan Inkopau dan Koharmatau. Mengingat pengalaman bahwa antara
tahun 1999 – 2001 Simulator F-16A pernah digunakan latihan terbang para
penerbang RSAF dan mendapatkan hasil yang menguntungkan, demikian pula halnya
dengan Simulator C-130 Hercules.
Dari kerja sama ini diharapkan outcome sebagai berikut
:
1)
Anggaran pemeliharaan yang terbatas
dari pusat dapat sedikit dikompensasi melalui penyewaan simulator-simulator
tersebut kepada pihak lain sehingga kontinuitas operasi tetap dapat
dipertahankan.
2)
Biaya sewa dikelola sedemikian rupa
sehingga semua yang terlibat di dalam kegiatan tersebut dapat merasakan hasil
jerih payahnya secara adil dan merata khususnya para pelaksana di lapangan yang
langsung turun tangan untuk mengoperasikan dan melaksanakan
pemeliharaan.
3)
Dengan tingkat operasi simulator yang
tinggi, sudah seyogyanya TNI AU mempunyai satuan khusus pelaksana pemeliharaan
tingkat sedang dan berat bagi simulator-simulator tersebut. Konsep satuan pemeliharaan ini akan
penulis tuangkan dalam bagian tersendiri tulisan ini.
Satuan Pemeliharaan
Simulator
Konsep yang penulis tuangkan mengenai
pentingnya suatu satuan khusus yang menangani kerusakan tingkat sedang dan berat
simulator-simulator TNI AU ini belum begitu mendalam karena masih banyak
variabel yang tidak dimasukkan sebagai bahan pertimbangan. Ide ini muncul saat penulis mendapat
kendala melakukan perbaikan level komponen pada salah satu peralatan unserviceable di Simulator F-16A. Pertimbangan-pertimbangan yang
digunakan adalah :
a.
Teknologi. Teknologi yang diaplikasikan pada
simulator berbeda dengan teknologi yang diaplikasikan pada peralatan elektronika
lainnya yang dimiliki oleh TNI AU baik peralatan Avionik, Radar maupun
Komalbanav. Simulator 100% berbasis komputer dengan simulation software sebagai “tokoh
kunci” keberhasilan kegiatan simulator. Simulator adalah integrasi peralatan
avionik, komunikasi dan albanav yang disimulasikan ke dalam bentuk software sehingga kompleksitas satu unit
simulator melebihi peralatan-peralatan aslinya. Oleh karena itu sangatlah
wajar bila harga simulated system-nya
mencapai dua atau tiga kali lipat peralatan aslinya. Sebagai contoh satu unit hard disk Silicon Graphics SCSI dengan
kapasitas 20 GByte dapat berharga $ 4.000 atau Rp. 40.000.000,-. Dengan pertimbangan kompleksitas sistem
yang tidak dapat ditangani secara parsial dan mahalnya harga suku cadang
simulator sudah selayaknya TNI AU mempunyai satu satuan pemeliharaan simulator
setingkat Depo Pemeliharaan (Depohar) atau minimal setingkat Satuan Pemeliharaan
(Sathar) seperti komoditi Avionik, Komalbanav dan Radar. Satu-satunya Depo Pemeliharaan
Elektronika yang pernah mempunyai bengkel Kompsimleksus adalah Depohar 40
Sulaiman, namun sayangnya kemampuan ini tidak dikembangkan sehingga mati
prematur tanpa pernah sekalipun menangani pemeliharaan atau melaksanakan
perbaikan simulator-simulator modern yang dimiliki TNI AU.
b.
Tipe Simulator. Hingga tahun 2003 ini TNI AU telah
mempunyai tiga simulator pesawat terbang modern yang didisposisi di Lanud Halim
Perdanakusuma, Iswahjudi dan Pekanbaru masing-masing dengan karakteristiknya
yang berbeda. Walaupun pada
dasarnya semua simulator tersebut mempunyai filosofi yang sama, namun
penterjemahan ke bentuk simulatornya tidak sama satu dengan yang lainnya. Selain itu personel yang menangani satu tipe simulator
tidak semudah itu berpindah menangani tipe lainnya seperti halnya di pesawat
terbang sehingga seyogyanya harus ada tiga satuan pemeliharaan simulator sesuai
dengan tipe simulatornya.
Satuan pemeliharaan ini akan bertambah bila memperhitungkan adanya Air
Defense Simulation System (ADSS) Pusdikhanudnas,
c.
Personel. Hal ini ada kaitannya dengan karir profesional di komoditi simulator
yang memerlukan pengakuan dari pimpinan TNI AU khususnya Diskomlekau agar tidak
merasa di-“anak tiri”-kan di dalam pembinaan karir para personelnya. Pembinaan karir akan berpengaruh besar
pada etos kerja dan peningkatan kemampuan profesi di lapangan yang pada akhirnya
berujung pada produktivitas satuan dari segi operasi maupun pemeliharaan. Saat ini karir tertinggi personel
simulator di satuan operasi adalah Kepala Fasilitas Latihan (Ka Faslat) dengan
jabatan Letnan Kolonel yang sebagian diisi oleh personel yang tidak meniti karir
sebagai awak simulator dan tidak mempunyai kualifikasi simulator. Beberapa Perwira simulator berasal dari
Skadron Avionik 01 Lanud Halim Perdanakusuma dan Skadron Avionik 02 Lanud
Iswahjudi sebelum dilebur menjadi Depo Pemeliharaan 20 Iswahjudi sehingga
(mungkin) saja dapat kembali ke Depohar 20. Namun bila kembali lagi ke Depohar 20
dikhawatirkan akan mengganggu kaderisasi yang telah dilakukan di
Dari tinjauan sederhana ketiga
variabel di atas ada tiga alternatif satuan pemeliharaan simulator yang dapat
dibentuk di TNI AU yakni :
Ø
Depo Pemeliharaan 80 yang terdiri dari 4 Satuan Pemeliharaan
Simulator dan 1 Satuan Pemeliharaan Software. Konsep ini diajukan karena
peralatan simulator memerlukan perlakuan khusus yang jauh berbeda dengan
peralatan di pesawat terbang sehingga perlu dibentuk depo baru yang khusus
menangani pemeliharaan simulator yakni Depo Pemeliharaan 80. Depohar 80 yang diperlihatkan pada
gambar 1 mengacu pada kekuatan simulator TNI AU yang ada saat ini. Sathar-sathar yang berada di bawahnya
adalah :
Æ
Satuan Pemeliharaan 81 untuk Full
Æ
Satuan Pemeliharaan 82 untuk
Simulator Hawk Mk-209.
Æ
Satuan Pemeliharaan 83 untuk Full
Flight Simulator C-130H.
Æ
Satuan Pemeliharaan 84 untuk Link
Trainer Frasca dan Flightmatic.
Æ
Satuan Pemeliharaan 85 untuk
Simulation Software Maintenance and Development.
Gambar 1. Konsep Struktur Organisasi Depo
Pemeliharaan 80.
Ø
Depo Pemeliharaan 80 yang terdiri dari 4 Satuan Pemeliharaan
Simulator dan 1 Satuan Pemeliharaan Software. Konsep ini dapat digunakan di masa
depan bila lima Sathar di Depohar 80 pada alternatif di atas dianggap terlalu
spesifik simulator tertentu dan bila TNI AU berkeinginan memiliki Simulator
Helikopter seperti Super Puma atau Colibri. Dengan mengumpulkan simulator sejenis
maka sathar-sathar yang berada di bawah Depohar 80 ini menjadi sebagai berikut
:
Æ
Satuan Pemeliharaan 81 untuk
Simulator Pesawat Tempur
Æ
Satuan Pemeliharaan 82 untuk
Simulator Pesawat Angkut.
Æ
Satuan Pemeliharaan 83 untuk Link
Trainer Frasca dan Fligthmatic.
Æ
Satuan Pemeliharaan 84 untuk
Simulation Software Maintenance and Production
Gambar 2. Konsep Struktur Organisasi Depo
Pemeliharaan 80 masa depan.
Ø
Satuan Pemeliharaan Simulator di
bawah Depo Pemeliharaan 40. Depohar 40 dipilih karena pada
masa lalu pernah memiliki Sathar Kompsimleksus yang dapat dihidupkan kembali
karena kebutuhan pemeliharaan simulator dan peralatan elektronika khusus TNI AU
tidak dapat ditunda lagi.
Dengan konsep ini maka Depohar 40 dapat dikembangkan dengan menambah dua
Sathar lagi yakni Sathar 43 untuk
pemeliharaan hardware simulator dan
Sathar 44 untuk menangani software
simulator baik maintenance maupun development-nya.
Gambar 3. Konsep pengembangan Depo
Pemeliharaan 40 untuk mendukung
pemeliharaan
simulator-simulator TNI AU.
Ø
Satuan Pemeliharaan Simulator di
bawah Depo Pemeliharaan 20. Dengan adanya penekanan dari
Kadiskomlekau bahwa Simulator adalah bagian dari komoditi Avionik, maka Sathar
Depohar 20 dapat ditambah dengan Sathar
24 yang khusus menangani Simulator maintenance baik hardware maupun
software-nya. Untuk
Simulator pesawat tempur (F-16A dan Hawk Mk-209) dapat ditangani langsung di
Sathar 24 di Lanud Iswahjudi dan untuk Simulator pesawat angkut (C-130) dapat
ditangani oleh Sathar 23 di Lanud Halim Perdanakusuma.
Gambar 4. Konsep pengembangan Depo
Pemeliharaan 20 untuk mendukung
pemeliharaan
simulator-simulator TNI AU.
Dengan adanya Satuan Pemeliharaan
Simulator ini diharapkan semua kendala yang saat ini dihadapai oleh TNI AU dalam
melaksanakan pemeliharaan simulator-simulator modern dapat diminimisasi dengan
tetap memperhatikan pembinaan karir bagi para personel simulator-simulator
modern tersebut.
Berkaitan dengan pembentukan atau
pengembangan Depo Pemeliharaan yang ada untuk menangani pemeliharaan tingkat
berat simulator-simulator TNI AU, hal-hal berikut harus dicermati dan
diantisipasi agar pembentukan atau pengembangan yang direncanakan tidak sia-sia
yakni :
G
Personel. Sumber daya manusia adalah elemen
utama keberhasilan pelaksanaaan tugas-tugas pemeliharaan simulator-simulator TNI
AU namun berdasarkan fakta di lapangan personel komoditi simulator tidak banyak
jumlahnya sehingga perlu direncanakan dengan matang mengenai penyediaan dan
pemenuhannya. Kegiatan
tersebut dilaksanakan secara paralel dengan rencana pembinaan kemampuan
profesinya agar profesional di dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Mengingat waktu yang diperlukan
untuk menyerap ilmu dan teknologi simulator ini cukup lama, maka
personel-personel pemeliharaan simulator khususnya Perwira harus siap untuk
berdinas cukup lama di Depo Pemeliharaan simulator
tersebut.
G
Fasilitas
Pemeliharaan. Pembentukan atau pengembangan Depo
Pemeliharaan untuk menangani pemeliharaan tingkat berat harus diikuti dengan
dukungan fasilitas pemeliharaan yang tepat guna sesuai dengan teknologi yang
diaplikasikan pada simulator-simulator TNI AU terutama test bench dan tester. Pengadaan peralatan pemeliharaan
memerlukan investasi awal yang cukup besar namun akan memberikan keuntungan yang
tidak sedikit di masa depan dan ini juga merupakan resiko yang harus dterima
karena membeli dan memiliki peralatan elektronika berbasis teknologi
tinggi.
G
Fasilitas Maintenance dan
Development. Fasilitas ini berkaitan dengan software yang merupakan inti dari suatu
simulator. Memelihara software tidak semudah memelihara hardware karena sifatnya yang tidak
kasat mata sehingga diperlukan imajinasi untuk membayangkannya. Beberapa kasus yang terjadi di
simulator saat ini adalah adanya kegagalan software dalam melaksanakan tugasnya
sehingga menyebabkan keseluruhan sistem tidak dapat dioperasikan. Daripada pemeliharaan software
dikerjakan oleh pihak ketiga, alangkah baiknya bila kegiatan ini dikerjakan oleh
personel-personel Depo Pemeliharaan karena akan lebih menguntungkan dan dapat
meminimalkan anggaran pemeliharaan yang dibebankan. Kegiatan software development akan sangat diperlukan
ketika harus menyesuaikan dengan perkembangan sistem pesawat terbang yang baru
sehingga diperlukan modifikasi atau pembuatan software baru untuk melengkapi simulation software yang telah ada.
Penulis mempunyai keyakinan bahwa kegiatan reverse engineering akan banyak
dilakukan di bidang software
ini.
System Administrator
(SA)
Simulator adalah komoditi yang sangat
spesifik. Mengapa dikatakan
spesifik ? Karena satu-satunya peralatan elektronika di dunia yang mampu
menirukan tingkah laku (behavior) suatu sistem nyata hanyalah
simulator. Untuk dapat
menirukan tingkah laku ini semua hardware harus diinjeksi dengan
software khusus agar dapat saling berkomunikasi satu dengan yang
lainnya. Analogi dengan tubuh
manusia adalah raga kita adalah hardware yang tidak akan dapat
beraktivitas tanpa adanya jiwa atau roh yang dianalogikan dengan
software. Tanpa adanya
software, simulator hanyalah benda mati. Oleh karena itu ia dikatakan
sebagai heavily computer-based system yang penuh dengan berbagai
simulation software. Semua
pergerakan instrumen di dalam cockpit, efek G, tampilan visual, perubahan
skenario misi, PLLU dan elemen simulasi dikendalikan oleh software. Tidak ada satupun elemen yang tidak
dikendalikan oleh software kecuali suplai listrik dari PLN dan sistem
pendinginan udara.
Memelihara software jauh lebih sulit daripada memelihara
hardware. Yang satu abstrak
dan yang lainnya nyata.
Abstrak karena ia tidak dapat dijamah atau disentuh, tidak kasat mata,
tidak dapat dilihat tetapi ada.
Tantangan terbesar di dalam mempertahankan serviceability suatu
simulator adalah menjaga simulation software-nya tetap dalam
kondisi serviceable.
Di dalam komunitas komputer dikenal
istilah System Administrator (SA). Microsoft Press Dictionary
3rd edition, 1997 mendefinisikan System Administrator sebagai
:
The
person responsible for administering use of a multiuser computer system,
communications system, or both. A system administrator performs such duties as
assigning user accounts and passwords, establishing security access levels,
allocating storage space, and watching for unauthorized access to prevent virus
or Trojan horse programs from entering the system. Also called
sysadmin.
Untuk menjadi sysadmin,
seseorang harus mempunyai kemampuan sebagai engineer dan
programmer karena ia tidak hanya berhadapan dengan software tetapi
juga dengan hardware di mana software tersebut diinstalasi. Dengan kata lain ia mempunyai latar
belakang engineering dan programming yang sangat
memadai.
Pada saat melaksanakan tugas sebagai
Ketua In Plant Team Full Mission Simulator F-16A di Thomson Training &
Simulation Ltd. (TT&SL), di United Kingdom beberapa tahun yang lalu, penulis
juga bertindak sebagai Software Engineer dan mengikuti application course System Administrator untuk Simulator
F-16A. Penulis mengamati
bahwa seorang SA memegang peranan penting dalam life cycle suatu
simulator. TT&SL
adalah anak perusahaan elektronika dunia Thomson – CSF (sekarang Thales) yang
bermarkas di Perancis yang bergerak di bidang flight simulation sehingga
tidak hanya
Kelihatannya tugas seorang SA mudah
dan sederhana. Memang betul, tetapi
tanggung jawabnya sangat berat karena sekali salah melakukan penggabungan
software, ia harus bekerja extra-time untuk memulihkan simulator
ke kondisi awal. Karena sedemikian
riskannya sistem yang harus dijaga, SA mempunyai access code khusus ke
komputer simulator dan ia mempunyai hak istimewa (privilege) atau hak
prerogatif di dalam sistem tersebut.
Dengan hak istimewanya sebagai “presiden” simulator, ia berhak
:
Mengalokasikan atau membuang
account bila diperlukan.
Account adalah “rumah” bagi pengguna (user) sistem
tersebut. Eliminasi
account harus dilakukan bila user dicurigai dapat membahayakan
keamanan dan keselamatan sistem.
Melakukan proteksi terhadap dokumen
yang penting bagi sistem. SA dapat
mengatur user yang diperbolehkan untuk mengakses dokumen-dokumen tertentu
yang ada di dalam jaringan sistem tersebut.
Melakukan modifikasi software
yang ada di dalam sistem untuk kepentingan keamanan dan keselamatan sistem
tersebut serta untuk kepentingan user. Hal ini harus dilakukan karena
terdapat beberapa software bawaan sistem yang dapat disalah gunakan untuk
menghancurkan sistem.
Menambah atau mengurangi
hardware yang dipasang pada sistem tersebut.
Meskipun simulator bukan
dikategorikan sebagai Alutsistaud, sense of security tetap diperlukan dan
SA adalah mastermind pengatur strategi pertahanan sistem
simulator. Menghancurkan
sistem berbasis komputer bukanlah pekerjaan sulit karena dengan merubah satu
baris perintah di dalam software akan membuatnya invalid dan tidak
dapat digunakan lagi sebelum kerusakan ini diperbaiki. Oleh karena itu keberadaan seorang SA
pada simulator tidak dapat dihindarkan dan sudah merupakan suatu kebutuhan. Untuk mendapatkan kualifikasi sebagai
seorang SA di bidang simulator ada beberapa persyaratan khusus yakni
:
Ø
Mempunyai latar belakang pendidikan
minimal S-1 bidang Teknik Elektro karena ia harus menangani software dan
hardware simulator atau mempunyai sertifikasi System Administrator dari
institusi yang berwenang sesuai dengan peralatan yang dipakai seperti SGI, SUN,
IBM atau ENCORE. Ini adalah
persyaratan mutlak yang tidak dapat ditawar.
Ø
Menguasai bahasa pemrograman teknik
seperti FORTRAN, C/C++ dan
Ø
Menguasai sistem operasi komputer
yang digunakan di workstation seperti UNIX dan
variannya.
Ø
Mendapat sertifikasi dari pabrik
pembuat simulator tersebut.
SA memegang semua rahasia sistem yang
ditanganinya, kelebihan dan kekurangannya, keuntungan dan kerugiannya serta
titik-titik rawan (vulnerable spots)
yang sering digunakan untuk oleh penyusup yang berniat merusak sistem. Dengan adanya penggunaan simulator
TNI AU oleh pihak asing khususnya Angkatan Udara negara lain yang dapat saja
berusaha mencuri informasi lokasi-lokasi strategis TNI AU yang ada di dalam visual database simulator tersebut, maka
keberadaa SA ini tidak dapat disanggah lagi (undeniable). Ini adalah salah satu upaya
peningkatan sense of security di
lingkungan satuan operasi TNI AU. Maka dapat disimpulkan bahwa Kunci kesiapan operasi, mastermind pemeliharaan dan benteng
utama keamanan sistem simulator adalah System Administrator
(SA).
Penutup
Di akhir naskah ini penulis hanya
dapat berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa di suatu waktu di masa depan
simulator akan menjadi salah satu tulang punggung keberhasilan operasi udara TNI
AU dan merupakan salah satu Komponen
Kekuatan TNI AU yang diperhitungkan. Di banyak negara maju simulator
dalam konteks yang lebih luas digunakan sebagai sarana untuk mempersiapkan
pasukan yang menuju
Daftar
Pustaka
Mabes TNI AU, Doktrin TNI Angkatan Udara Swa Bhuwana
Paksa, 2000,
Mabes TNI AU, Buku Petunjuk Dasar TNI Angkatan Udara,
2000,
Mabes TNI AU, Program Pengadaan Full
Mabes TNI AU, Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur (POP)
Wing Pangkalan Udara (Wing), 1999, Surat Keputusan KASAU No. :
KEP/6/III/1999, 16 Maret, Mabes TNI AU,
Microsoft
Corp., Microsoft Press Computer
Dictionary, 3rd Edition on CD [CD], 1997, Microsoft Corp.,
Nemeth,
Evi, Snyder, Garth, Seebass, Scott and Hein, Trent R., UNIX System Administration Handbook
2nd Edition, 1995, Prentice-Hall Inc.,
Pentak Lanud Iswahjudi, Tally Ho 3rd Edition, 2002,
Pentak Lanud Iswahjudi, Madiun.
Rugaber,
Spencer, Therry Shikano
and R.E. Kurt Stirewalt, Adequate Reverse
Engineering, [Online] pada http://www.cc.gatech.edu/are.pdf,
download
Silicon Graphics Inc., SGI IRIX System Administration, 1996,
Silicon Graphics Inc.,
Silicon Graphics Inc., SGI IRIX Network Administration, 1996,
Silicon Graphics Inc.,
Sumari,
Lettu Lek Ir. Arwin D.W., FSI,
FSEM, VDBM, SA, IDAF F-16A Simulator In
Plant Team Leader and Software Engineer Log Book, [Unpub], 1997,
UK.
Sumari, Kapten Lek Ir. Arwin D.W.,
FSI, FSME, VDBM, SA, F-16A Simulator:
Preparing for Any