MILITARY SOFTWARE ENGINEER

TASK FORCE (MSETF)

 

(Suatu Ide Pemeliharaan Level Software Alat Utama Sistem Senjata TNI AU)

 

Mayor Lek  Ir. Arwin D.W. Sumari, FSI, FSME, VDBM, SA[1]

 

 

Militer (baca : Tentara Nasional Indonesia) tidak akan pernah lepas dari teknologi dan perkembangannya baik dalam skala regional (dalam negeri) maupun internasional.   Pengalaman di beberapa medan pertempuran telah membuktikan bahwa teknologi memegang peranan yang sangat penting atau dengan kata lain “who invents a new technology he will win the war”.  Sebagai contoh adalah peperangan yang digelar oleh Amerika Serikat yang diberi sandi “Endurance Freedom” saat menghadapi pemerintahan Afghanistan di bawah rezim Taliban atau saat perang melawan Irak yang menginvasi Kuwait beberapa tahun yang lalu.

 

Medan perang adalah salah satu sarana terbaik untuk menguji coba suatu penemuan mesin perang baru.   Tidak sedikit peralatan perang baru harus dirancang untuk menghadapi situasi medan perang tertentu seperti kondisi daerah perang yang bergunung-gunung, gurun pasir atau di bawah laut, belum model pertahanan yang telah dipersiapkan oleh pihak lawan seperti goa-goa yang berliku-liku dan bunker-bunker dengan ketebalan lapisan yang tidak umum. Salah satu kunci Kemenangan perang ditentukan dari kemampuan peralatan perang yang diciptakan tersebut untuk menghadapi situasi tersebut dan di sinilah teknologi harus berperan.

 

Di dalam setiap peperangan, serangan pembukaan pasti akan dilakukan oleh kekuatan perang yang dapat bergerak dengan cepat mencapai titik sasaran, melaksanakan serangan dan kembali dengan cepat pula ke pangkalannya dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh Angkatan Udara.  Gebrakan awal yang mengejutkan akan menciutkan nyali lawan sehingga komponen perang lainnya dapat dengan segera bergerak menuju ke daerah lawan dan merebut sasaran strategis yang pada akhirnya akan melumpuhkan kekuatan lawan.  Sehingga tidaklah aneh bila perkembangan teknologi dirgantara khususnya aplikasi militer sangat cepat dan lebih-lebih lagi sebagian besar aplikasi tersebut berbasis komputer sehingga tidaklah heran bila TNI AU sulit untuk mengikuti perkembangannya.

 

 

 

Konsep Teknologi

 

Teknologi pada dasarnya adalah suatu konsep ilmu dan engineering yang diaplikasikan pada suatu alat atau sistem sehingga alat atau sistem tersebut membawa sifat-sifat teknologi yang diaplikasikan kepadanya untuk memudahkan atau mengoptimalkan kerja manusia.  Di dalam implementasi suatu teknologi, terdapat 2 (dua) komponen yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya yaitu hardware (perangkat keras) dan software (perangkat lunak).  Di dalam makalah ini penulis akan menggunakan bahasa asli kedua komponen tersebut agar pembaca lebih familiar, karena dalam konteks ini yang disebut dengan software adalah suatu program komputer baik itu operating system seperti Windows atau UNIX maupun application program seperti Microsoft Word.

 

Mengapa kedua komponen tersebut tidak dapat dipisahkan ? Hardware adalah benda mati, benda yang dapat dilihat (kasat mata) dan disentuh menggunakan anggota badan kita, sedangkan software adalah benda yang tidak kasat mata.  Kita hanya dapat melihatnya saat kita menggunakannya tetapi bagaimana ia bekerja kita tidak pernah tahu. Agar hardware tersebut dapat digunakan kita aplikasikan software kepadanya sehingga kita dapat menggunakannya, tentunya sesuai dengan fungsi dari sistem tersebut.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa software adalah “nyawa” hardware seperti halnya dengan anggota badan kita yang terdiri dari kepala, tangan, kaki dan lain sebagainya yang hanyalah benda mati bila Tuhan YME tidak meniupkan nyawa ke tubuh kita.

 

Berbicara masalah hardware dan software pastilah tidak lepas dari benda yang dinamakan dengan komputer karena asal-usul kedua istilah tersebut berasal dari awal dibuatnya komputer pertama kali oleh Steve Wozniack dan Steve Jobs dari IBM sekian puluh tahun yang lalu.   Pembuatan komputer pertama tersebut tidak begitu saja muncul, tetapi diawali dari ide-ide para senior mereka untuk melakukan otomatisasi terhadap suatu pekerjaan tertentu seperti ide pembuatan punch card, kemudian Babbage Machine dan lain sebagainya.

 

 

Software Engineer

 

Suatu sistem berbasis komputer adalah suatu black box hardware yang dapat diprogram untuk melakukan suatu tugas tertentu.   Agar sistem tersebut dapat melakukan tugas tersebut maka ia harus diinstalasi dengan suatu software tertentu sesuai dengan persyaratan (requirement) yang ditetapkan di dalam specification list.  Software tidak mungkin tiba-tiba muncul begitu saja sama halnya dengan nyawa yang dikandung badan.  Software muncul melalui suatu proses yang tidak mudah dan harus melalui tahapan-tahapan tertentu yang telah ditetapkan sehingga software yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan yang diharapkan.  Proses perancangan awal hingga software tersebut diaplikasikan pada sistem berada di tangan Software Engineer baik secara individu maupun suatu tim. Gambaran ini dapat dilihat pada blok diagram berikut.

 

 

 

Gambar 1.   Tugas Software Engineer pada Perancangan Sistem.

 

 

Salah satu tugas seorang Software Engineer adalah membuat source code software tersebut (coding), melakukan kompilasi (compiling and linking), menguji program hasilnya (testing), memeriksa bila ada kesalahan pengkodean (debugging) dan melakukan perbaikan bila ditemukan kesalahan (fixing); dan bila perlu melakukan perbaikan pada produk berikutnya (revision).  Dengan segudang tugas yang berkaitan dengan pemrograman (programming) tersebut, seorang Software Engineer juga disebut sebagai seorang Programmer.

 

Microsoft Press Computer Dictionary 3rd Edition mendefinisikan programming adalah :

 

“The art and science of creating computer programs. Programming begins with knowledge of one or more programming languages, such as Basic, C, Pascal, or assembly language. Knowledge of a language alone does not make a good program. Much more can be involved, such as expertise in the theory of algorithms, user interface design, and characteristics of hardware devices. Computers are rigorously logical machines, and programming requires a similarly logical approach to designing, writing (coding), testing, and debugging a program. Low-level languages, such as assembly language, also require familiarity with the capabilities of a microprocessor and the basic instructions built into it. In the modular approach advocated by many programmers, a project is broken into smaller, more manageable modules--stand-alone functional units that can be designed, written, tested, and debugged separately before being incorporated into the larger program.”

 

 

Definisi ini sengaja penulis sampaikan untuk sedikit memberikan gambaran bahwa melakukan pemrograman dituntut mempunyai suatu sense (rasa) tersendiri karena yang dihadapi adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan.  Selain itu, untuk membuat suatu program dituntut telah mempunyai pengetahuan tidak hanya pada bahasa pemrograman yang digunakan tetapi juga pemahaman terhadap algoritma, user interface dan karakteristik dari hardware yang ditangani.

 

Dengan perspektif yang telah disampaikan mengenai profil seorang Software Engineer (Programmer), tidak terlalu sulit mendefinisikan profil seorang Military Software Engineer (Mil-S.Eng).  Seseorang yang memiliki kualifikasi Mil-S.Eng adalah seorang Software Engineer Kualifikasi Khusus dengan penguasaan bahasa pemrograman umum ditambah dengan penguasaan terhadap program-program yang diaplikasikan pada peralatan perang atau alut sista yang sangat spesifik.  

 

Seperti telah kita ketahui bahwa (saat ini) sebagian besar peralatan perang TNI terutama TNI AU berasal dari negara-negara NATO (North Atlantic Treaty Organization) seperti Amerika Serikat dan Inggris; dan standar yang digunakan adalah US Military Standard (MIL-STD) dengan kode-kode tertentu sesuai dengan jenis peralatan perang yang diproduksi.  Sebagai contoh berbagai macam peralatan avionik yang diinstalasi di alat utama sistem senjata (alut sista) TNI AU seperti pesawat terbang baik itu pesawat tempur, angkut dan helikopter dan bahkan Simulatornya semuanya berbasis komputer.  Jangankan di alut sista, bahkan hingga pada peralatan perbaikannyapun sebagian besar berbasis komputer dan peralatan-peralatan tersebut didatangkan bukan dari satu produsen dan satu negara tetapi berbagai macam.  Sehingga adalah wajar bila setiap sistem mempunyai karakteristik yang berbeda satu dengan lainnya.   Tetapi ada beberapa peralatan yang didatangkan dari produsen yang berbeda tetapi mempunyai fungsi yang sama; yang berbeda adalah software yang digunakan untuk mengimplementasikan tugas dari peralatan tersebut seperti simulator dan peralatan komunikasi.

 

Pengadaan suatu alut sista dan kelengkapannya seperti test bench dan spare part tidak mungkin hanya 1 (satu) unit atau each (ea) dan alut sista atau kelengkapan lainnya yang diadakan juga tidak mungkin hanya 1 (satu) jenis saja.  Nah, dengan kondisi seperti ini TNI AU sudah seharusnya memiliki Perwira-perwira kualifikasi Mil-S.Eng sehingga setiap pemeliharaan yang berkaitan dengan specific software akan dapat ditangani segera. 

 

Pengalaman penulis pertama sebagai Kepala Fasilitas Latihan (Ka Faslat) dan juga bertindak sebagai System Administrator (SA) Full Mission Simulator F-16A di Faslat Wing – 3 Lanud Iswahjudi yang bertanggung jawab terhadap serviceability hardware dan terutama software Simulator F-16A sudah dapat dijadikan sebagai referensi bahwa untuk menjadi seorang Perwira dengan kualifikasi Mil-S.Eng tidak dapat dilakukan secara instant atau jalan pintas tetapi harus melalui suatu proses yang cukup panjang dan memakan waktu bertahun-tahun ditambah pengalaman di lapangan.  Ini baru di Simulator F-16A belum di alut sista di satuan-satuan TNI AU lainnya seperti di pesawat F-16 dengan permasalahan software Expanded Fire Control Computer (XFCC)-nya, sistem kendali Radar serta software di peralatan komunikasi modern di Satkomlek maupun di Senkom di seluruh Indonesia.

 

 

Military Software Engineer Task Force (MSETF)

 

Sebenarnya gagasan ini sudah pernah dicetuskan oleh beberapa senior di Dinas Komunikasi dan Elektronika TNI AU (Diskomlekau) tetapi dalam konteks yang sedikit berbeda.   Saat itu Diskomlekau dihadapkan pada kompleksitas sistem terutama pada software yang diinstalasi pada simulator-simulator modern TNI AU seperti Simulator Hawk Mk-209 di Lanud Pakanbaru, Simulator F-16A di Lanud Iswahjudi dan Simulator C-130 Hercules di Lanud Halim Perdanakusuma; sehingga digagas suatu mobile team yang terdiri dari para Perwira ahli (expert) di bidang software yang sewaktu-waktu dapat ditugaskan ke lokasi-lokasi tersebut di atas bila diperlukan pemeliharaan dan perbaikan software.  Pengembangan selanjutnya adalah bahwa nantinya mobile team tersebut akan mempunyai kantor sendiri dan tugas utamanya adalah berkutat di bidang analisa, pembuatan dan pengembangan software simulator,  sehingga antara tahun 1997 – 1998, TNI AU pernah menerima permintaan dari kantor Menristek untuk mengirimkan Perwira-perwira spesialisasi simulator - dan penulis pertama termasuk salah satu diantaranya – untuk membantu Tim Menteri Riset dan Teknologi RI waktu itu Prof. DR. B.J. Habibie yang merencanakan untuk membangun Simulator Pesawat Tempur Sukhoi tetapi batal karena Indonesia batal membeli pesawat tempur tersebut.

 

Dengan mengadopsi ide para senior tersebut, di dalam makalah ilmiah ini penulis menekankan betapa pentingnya memiliki Mil-S.Eng di TNI AU dan berharap bahwa suatu ketika Military Software Engineer Task Force (MSETF) TNI AU di mana para Mil-S.Eng ini bernaung akan dapat diwujudkan.   MSETF ini akan bertanggung jawab terhadap serviceability software semua alut sista yang dimiliki oleh TNI AU.  Yang dimaksud dengan software alut sista adalah software yang specific application pada alut sista tersebut dan yang bukan bersifat pengolahan data (Electronic Data Processing, EDP) seperti yang saat ini ditangani oleh Dinas Informasi dan Pengolahan Data TNI AU (Disinfolahtaau).

 

Mengerti suatu software tidaklah semudah membalikkan tangan apalagi software yang diinstalasi pada alut sista tersebut sudah terkompilasi dalam bentuk object code dan sangat jarang TNI AU mendapatkan source code-nya karena ini bersifat proprietary atau rahasia perusahaan pembuatnya.   Kadang dalam beberapa kasus memeriksa program buatan sendiri saja memerlukan waktu yang cukup lama dan kadang berjam-jam apalagi berusaha memahami program buatan orang lain yang jelas-jelas kita tidak tahu visi mereka pada saat merancang dan mengimplementasikan program buatannya tersebut.  Dengan tingginya tingkat kesulitan yang nantinya akan dihadapi oleh tim MSETF TNI AU, maka seorang calon Mil-S.Eng TNI AU harus mempunyai kualifikasi minimal sebagai berikut :

 

a.                 Perwira berpangkat Lettu – Kapten dengan motivasi kerja dan kemauan belajar yang tinggi, jujur secara keilmuan dan tidak money-oriented.

 

b.                 Latar belakang pendidikan D-3 Teknik dengan Tugas Akhir (TA) di perguruan tinggi bentuk aplikasi hardware atau software atau kombinasi keduanya dan bukan studi literatur.

 

c.                  Pernah mengikuti Pendidikan Kualifikasi Khusus yang berkaitan dengan alut sista berbasis komputer.

 

d.                 Pernah menulis dan atau mempresentasikan dan atau mendemonstrasikan salah satu karya cipta orisinilnya dalam suatu proceeding, kumpulan makalah ilmiah baik di dalam maupun di luar TNI AU dan atau di luar negeri.

 

e.                 Menguasai bahasa pemrograman (programming language) maupun script standar militer diantaranya :

 

1.                   C/C++.

2.                   FORTRAN.

3.                   ADA.

4.                   UNIX Script.

 

f.                   Menguasai sistem operasi (operating system) standar militer yang sebagian besar berbasis UNIX dan turunannya seperti SunOS dan VxWorks.

 

g.              Kemampuan TOEFL (Test of English as a Foreign Language) dengan nilai 500.

 

Seperti telah disampaikan di atas bahwa profil seorang kualifikasi Mil-S.Eng harus memenuhi persyaratan minimal dari poin a sampai dengan g dapat diterjemahkan bahwa untuk mendapatkan seorang Perwira dengan kualifikasi Mil-S.Eng yang profesional sangat sulit.   Oleh karena itu seorang Perwira dengan kualifikasi Mil-S.Eng sudah sewajarnya berhak mendapatkan sertifikasi kualifikasi khusus baik dalam bentuk Sertifikat dan Wing Profesi dilengkapi dengan tunjangan profesionalisme dalam bentuk insentif khusus di dalam struk gaji sesuai dengan kemampuan profesionalnya.

 

Tunjangan profesionalisme bukan berarti money-oriented karena hingga saat ini penghargaan atas kemampuan intelektual belum tersosialisasi dengan baik di lingkungan TNI AU.    Pemberian tunjangan profesionalisme ini sejalan dengan kebijaksanaan Pemerintah RI di bidang penghargaan kepada Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).  Tunjangan profesionalisme berbeda dengan tunjangan jabatan.  Tunjangan profesionalisme menitik beratkan kepada kemampuan intelektual dari seorang Perwira kualifikasi Mil-S.Eng yang didasarkan (sekali lagi) kepada kemampuan profesionalnya.

 

 

Military System Engineering

 

TNI AU tidak terlambat untuk mulai meningkatkan dan mengoptimalkan Military System Engineering (MSE) yang saat ini sudah dilaksanakan.   Di dalam MSE ini tidak hanya elemen Mil-S.Eng yang tergabung di dalam MSETF yang bekerja, tetapi task force ini juga bekerja sama dengan elemen-elemen atau task force lainnya yang profesional di bidang hardware engineering dan system engineering.

 

Sesuai dengan istilah yang melekat padanya, hardware engineering akan banyak bergelut dengan hardware alut sista yang juga sangat spesifik dengan komponen dan spare part yang tidak umum dan sulit ditemukan pasar umum (general market).  Dengan demikian di bidang hardware engineering, TNI AU juga sudah seharusnya mempunyai Military Hardware Engineer Task Force (MHETF) dengan Perwira-perwira kualifikasi Military Hardware Engineer (Mil-H.Eng).  Demikian pula halnya dengan integrasi software dan hardware pada suatu sistem juga bukan hal sederhana dan just plug ‘n play seperti personal computer (PC) yang banyak ditemukan di pasaran dan digunakan di rumah-rumah tetapi memerlukan keahlian khusus yang disebut dengan System Engineering. 

 

Seorang profesional di bidang system engineering tidak hanya sekedar mampu mengintegrasikan hardware dan software saja tetapi juga mampu merekayasa sistem yang ada atau merancang sistem baru untuk memenuhi kebutuhan standar TNI AU sesuai dengan spesifikasi militer yang telah ditetapkan.  Maka, dalam konteks ini TNI AU juga harus mempunyai Perwira-perwira ahli di bidang system engineering yang tergabung dalam Military System Engineer Task Force (MSysETF) dengan kualifikasi Military System Engineer (Mil-SysEng).  Hubungan kerja di antara ketiga task force di dalam system engineering dapat digambarkan secara sederhana pada gambar 2 berikut ini.

 



 

Gambar 2.   MSETF, MHETF dan MSysETF dalam System Engineering.

 

 

Beragamnya alut sista TNI AU baik jenisnya maupun negara pembuatnya berdampak pada tingginya tingkat kesulitan dalam pemeliharaan dan perbaikan alut sista tersebut baik dari segi hardware maupun software yang pada akhirnya berujung pada system itu sendiri.   Military Software Engineer Task Force (MSETF) merupakan suatu task force yang beranggotakan Perwira-perwira dengan kualifikasi Mil-S.Eng yang perlu segera dibentuk sebelum beban pemeliharaan bidang software semakin menumpuk.   Tidak terlambat bagi TNI AU untuk membentuk task force tersebut yang diimbangi dengan pembentukan elemen atau task force di bidang hardware dan system engineering sehingga slogan TNI AU yang “Padat Materiil Bobot Teknologi” tidak hanya sekedar retorika saja.

 

Sebelumnya penulis menyampaikan permohonan ma’af bila terdapat kesalahan tulis baik yang sengaja maupun tidak sengaja dalam makalah ilmiah ini, ini semua kembali berpulang kepada kecintaan penulis kepada TNI AU dan berharap TNI AU lebih maju dan modern di masa depan.

 

 

 

Daftar Pustaka

 

[1]      _______________, “Microsoft Press Computer Dictionary 3rd Edition”, Microsoft Corp., USA, 1998.

[2]       _______________, “Keputusan Kepala Staf TNI AU No. Kep/05/VI/1995 tanggal 30 Juni 1995 tentang Profesionalisme Angkatan Udara”,Mabes TNI AU, Jakarta, 1995.

[3]       _______________, “F-16A Full Mission Simulator Prime Item Development Specification (PIDS)”, Thomson Training & Simulation Ltd., UK, 1996.

[4]       _______________, “F-16A Full Mission Simulator Software Design Document (SDD)”, Thomson Training & Simulation Ltd., UK, 1996.

[5]       _______________, “F-16A Full Mission Simulator Software Requirement Specification (SRS)”, Thomson Training & Simulation Ltd., UK, 1996.

[6]       _______________, “F-16A Full Mission Simulator Software Test Document (STD)”, Thomson Training & Simulation Ltd., UK, 1996.

[7]       _______________, “F-16A Full Mission Simulator System/Segment Design Document (SSDD)”, Thomson Training & Simulation Ltd., UK, 1996.

[8]       _______________, “F-16A Full Mission Simulator System/Segment Specification (SSS)”, Thomson Training & Simulation Ltd., UK, 1996.

[9]       _______________, “Software Manual for the Lockheed F-16A Flight Simulator prepared for the Indonesian Department of Defense & Security (TNI-AU) Programme”, Thomson Training & Simulation Ltd., UK, 1996.

[10]     Blanchard, Benjamin S., and Wolter J. Fabricky, “System Engineering and Analysis”, Prentice-Hall Inc., USA, 1990.

[11]   Nemeth, Evi, Garth Snyder, Scott Seebass and Trent R. Hein, “UNIX System Administration Handbook 2nd Edition”, Prentice-Hall Inc., USA, 1995.

[12]     Sumari, Arwin D.W., Ir., FSI, FSME, VDBM, SA, “IDAF F-16A Simulator In Plant Team Leader and Software Engineer Log Book”, Private Reference, Inggris, 1997.

[13]     Truxal, John G., “Introductory System Engineering”, McGraw-Hill Book Company, USA, 1972.