|
|
 |
LAIN-LAIN
| |
Jelajah 100 Bandara dengan Simulator
C-130H
Benar kata pemeo. Dari luar C-130 Hercules tak lebih
sebuah truk pengangkut. Tapi coba rasakan menerbangkannya, dia
bahkan seringan Cessna. Tidak salah, pesawat ini digunakan di
lebih 66 negara. Angkasa turut meninjau keberadaan simulator
canggih versi H seharga 30 juta dollar AS, yang belum banyak
diketahui orang ini, di Fasilitas Latihan Wing I Lanud Halim
Perdanakusuma.
SIMULATOR C-130H HERCULES - Simulator baru
milik TNI AU./Foto: Angkasa/DN Yusuf
|
Keberadaan Simulator C-130H di Fasilitas Latihan (Faslat) Wing I
Lanud Halim Perdanakusuma memang belum terbilang lama. Instalasi
kesemua perangkatnya sendiri baru dilaksanakan pada 5 Desember 1999
saat simulator ini tiba dari vendornya Canadian Aviation Electronic
(CAE), Kanada. TNI AU yang memiliki tidak kurang 25 buah C-130
(Skadron Udara 31 dan 32), melakukan kontrak pembeliannya pada tahun
1997. Namun tidak lama kemudian negara masuk krisis ekonomi sehingga
pengaktifan kontraknya baru dibuka lagi pada awal 1999.
Namun dengan diberlakukannya embargo suku cadang oleh AS terhadap
Indonesia, menyebabkan keberadaan simulator yang setara dengan harga
dua setengah pesawat aslinya ini tidak dipublikasikan TNI AU kepada
umum. Baru setelah pencabutan embargo suku cadang beberapa bulan
silam, KSAU memberikan keleluasaan kepada Faslat Wing I sebagai
pengelolanya untuk membuka kran publikasi sekaligus memasarkannya ke
negara-negara operator C-130.
Dalam Surat Keputusan KSAU No: Kep/26/X/2000 dijelaskan tentang
pinjam pakai dan pemanfaatan Simulator C-130H yang ada di Wing I
Lanud Halim Perdanakusuma kepada Induk Koperasi TNI AU (Inkopau).
Semisal kapasitas diam (idle capacity) dari jam latih yang
tidak terpakai oleh para penerbang C-130 TNI AU, bisa disewakan guna
menambah dana pemeliharaan.
Tentang kapasitas diam, dari 24 jam operasi per satu hari sesuai
rekomendasi CAE, ternyata para penerbang TNI AU hanya menghabiskan
empat jam latihan per hari, atau setara 80 jam dalam satu bulan
(hitungan 20 hari aktif satu bulan). "Itu pun sudah maksimal. Pada
saat terjadi banyak misi seperti ke Aceh, Ambon, dan lainnya
beberapa waktu lalu, maka yang terpakai hanya 40 jam," ujar Mayor
(Tek) Teguh Purwo S, SE Kepala Faslat Simulator C-130H menjelaskan.
Teguh melanjutkan, bila menggunakan rumusan boleh operasi 24 jam
perhari, dalam satu tahun akan terkumpul 4.800 jam. Sedangkan jam
terpakai oleh TNI AU per tahun hanya 960 jam, atau maksimal 1.500
jam. "Berarti di sini ada idle capacity sekitar 3.000-an
jam," urai Teguh.
Digunakan RSAF
TIGA SUMBU - Simulator C-130H bertumpu pada
tiga sumbu./Foto: Angkasa/DN Yusuf
|
Teguh dengan 19 orang anggotanya segera bergerak. Dalam beberapa
bulan promosi, alhasil sambutan datang dengan cukup baik. Angkatan
Udara Singapura (RSAF) adalah salah satu yang langsung
menandatangani kontrak setelah melakukan kunjungan pada bulan Mei
lalu. "Tiga slot pelatihan pada akhir tahun ini dan 30 slot lagi
untuk tahun 2002," jelas Teguh Purwo yang keberatan menyebut nilai
kontrak antara RSAF dengan Inkopau. "Kami hanya pelaksana teknis
saja. Yang jelas, sebagai gambaran, biaya perawatan ideal 200 dollar
AS per jam, terbantulah dengan kontrak itu," ujarnya singkat.
Selain RSAF, TUDM (AU Malaysia), dan Filipina juga telah
melakukan kunjungan. TUDM diperkirakan menyusul melakukan kontrak
pada Desember ini. "Bila bicara peluang, dapat dikatakan penyewaan
simulator C-130 di kawasan Asia Pasifik (saja) sudah cukup besar.
Data 1992 menyebutkan, dari 153 C-130 militer yang dioperasikan di
Asia, hanya Indonesia yang memiliki simulator," urai lulusan AAU
tahun 1997 ini.
AU Singapura, sebelumnya memang memiliki Simulator C-130B buatan
tahun 1979. Bahkan dengan simulator ini pula para penerbang Hercules
TNI AU sebelumnya pergi dan berlatih di negara dengan wilayah kecil
ini. Namun pada bulan Juli lalu, simulator ini telah dijual seiring
nilai investasinya yang telah kembali (ROI-return of
investment). "Australia punya simulator versi E dan J, tetapi
mereka tidak menyewakannya kepada negara lain," tambah Teguh.
Fasilitas canggih
Beruntung TNI AU membeli produk terakhir simulator C-130 versi H
(di luar seri terbaru C-130J yang instrumennya sudah
EFIS-electronic flight instrument system). Simulator versi H
ini bahkan yang tercanggih dari yang dipunyai lebih dahulu oleh
Belgia, Mesir, dan Singapura.
Beberapa keunggulan sebut saja, misalnya, sudut pandang awak
kokpit (memuat enam orang: pilot, kopilot, observer, navigator,
flight engineer, dan instruktur) yang lebar hingga 180
derajat. Beda dengan simulator versi sebelumnya yang hanya
menggunakan empat proyektor sehingga pandangan awak kokpit terbatas
pada pandangan depan saja.
"Sistem hidrolik yang sudah 1.800 psi (versi sebelumnya hanya
1.300 psi) membuat akselerasi pada saat take off maupun
landing, aksi kontrol kolom, nose gear, maupun main
gear persis sama dengan aslinya," ujar Teguh. Lebih dari itu
pada simulator ini 'tersimpan' 100 bandara dunia, baik militer
maupun sipil. Ditambah satu sistem generik, dimana landasan dengan
lanskap yang diinginkan bisa dibuat. "Mau panjang-lebar landasannya
berapa, lampu landasannya model apa, apron-nya mau di sebelah kiri
atau kanan, ada gunung atau laut di sebelahnya dan sebagainya. Jadi
misalnya, bila tim suatu negara ke sini ternyata landasannya tidak
ada, maka kita bisa bikin sesuai yang diminta," jelasnya.
Dengan server komputer IBM RISC/6000, processor AIX 4.2.1
dan sistem pemrograman bahasa Fortran dan C-languange, diakui
Teguh, menjadikan fasilitas simulator ini terpadu dan gampang
dioperasikan. Terpadu karena sistemnya tidak terpisah-pisah dan
bahasanya mudah. "Perawatannya juga mudah, karena sudah menggunakan
modul, card, dan indikator bila ada malfungsi. Yang kedua
karena menggunakan sistem remove and replace (angkat dan
ganti)," tambah lulusan terbaik kursus flight engineer tahun
1998 kelahiran Tulungagung, 25 Maret 1964 ini.
JELAJAH 100 BANDARA - Mampu menampilkan 100
landscap bandara./Foto: Angkasa/DN Yusuf
|
Efektivitas maupun efisiensi dari adanya simulator yang telah
digunakan sekitar 675 jam operasi ini diutarakan Teguh mencakup
beberapa hal. Yang utama, tentu bisa mengurangi jam terbang pesawat
sebenarnya. Dengan simulator ini juga para penerbang dapat melakukan
simulasi emergensi yang paling berbahaya sekalipun. Contohnya bila
kabel tuas gas (throttle) putus sehingga begitu digerakkan,
reaksinya hilang. Bagaimana cara menanggulanginya? Coba bayangkan
bila hal ini terjadi dalam penerbangan sesungguhnya, sementara
penerbang belum pernah melakukan simulasi?
Lalu bila terjadi kebakaran pada mesin. Bagaimana tindakan yang
harus diambil penerbang. Begitupun latihan air refuelling
(isi bahan bakar di udara), terbang malam, terbang dalam kondisi
alam buruk, simulasi es (icing), berlatih mendrop barang pada
ketinggian rendah (LAPES- low altitude parachute extraction
system), terbang formasi dalam jarak dekat hingga lebih delapan
pesawat, dan simulasi berbahaya lainnya.
Pada akhirnya, mempunyai fasilitas simulator sendiri memang
adalah tuntutan itu sendiri. Demi meningkatkan keselamatan
penenerbangan yang sepanjang zaman menjadi tuntutan yang tidak akan
pernah berhenti. Lebih dari itu, bila keberadaannya juga bisa
didayagunakan guna mendatangkan uang, mengapa tidak? (ron)
|